Nama : Nur Choiro Siregar
NIM : 13709251010
Prodi : P.Mat-A PPS UNY
Rekaman Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Oleh Prof .Dr. Marsigi
Di ruang : 300B Gedung lama, di
sampaikan pada hari kamis jam 10.15-12.45 tanggal 07 November 2013 di kelas
P.Mat-A PPs UNY
Dari uraian Prof. Dr. Marsigit pada tanggal 07
November yang lalu, hal yang paling fokus pada makalah ini tentang gambaran
tentang filsafat Indonesia dengan filsafat dunia luar. Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa
Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة,
yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk
dan berasal dari kata-kata (philia =
persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia =
“kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan”. Kata filosofi yang
dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk
terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang
mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”. Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan
pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya
sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa,
bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu,
filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang
budayanya. Kategori menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”,
“Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”.
Pertama Filsafat
Barat adalah ilmu yang biasa
dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan
daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi filsafat
orang Yunani kuno. Tokoh utama filsafat Barat antara
lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel
Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich
Marx,Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Kedua Filsafat Timur. Filsafat
Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia,
khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang
pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya
hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa
dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi
di Dunia Barat filsafat masih lebih menonjol daripada agama.
Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao
Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
Ketiga Filsafat
Timur Tengah. Filsafat
Timur Tengah dilihat dari sejarahnya merupakan para filsuf yang bisa
dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi filsafat barat. Sebab para filsuf
Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam
dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah-daerah di
sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan
tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar
terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah
runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan
melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari
karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh
orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur
Tengah adalah Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Kahlil
Gibran dan Averroes.
Keempat Filsafat
Indonesia adalah sebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang dilakukan
oleh penduduk yang mendiami wilayah yang belakangan disebut Indonesia. Filsafat
Indonesia diungkap dalam berbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan di
Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' Bahasa Indonesia, meliputi aneka
mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat, disamping tema-tema
filosofisnya yang asli.
Istilah Filsafat Indonesia berasal dari judul sebuah buku yang
ditulis oleh M. Nasroen, seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat
di Universitas Indonesia, yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur
filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian
populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti Sunoto, R.
Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat. Sunoto, salah seorang
Dekan Fakultas Filsafat di Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di
UGM yang bernama Jurusan Filsafat
Indonesia sampai saat ini. Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan
kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam
lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi
kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa “Filsafat Indonesia” adalah bukan Barat dan
bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktek-praktek asli
dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, gotong-royong, dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14,
24, 25, 33, dan 38). Sunoto mendefinisikan “Filsafat Indonesia” sebagai ...kekayaan budaya bangsa kita
sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri (Sunoto
1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya sebagai ...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di
dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985:iii).
Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ...pemikiran primordial... atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh
bangunan karya budaya...(Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut
memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian
budaya dan antropologi. Secara kebetulan, Bahasa Indonesia sejak awal memang tidak memiliki kata
'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari teologi, seni,
dan sains. Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata generik, yakni, budaya atau kebudayaan, yang meliputi seluruh
manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama,
seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang
tercakup dalam makna kata budaya tadi.
Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan budayawan (Alisjahbana
1977:6-7). Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat
Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia
saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada
Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta, sebagai “kemiskinan
filsafat”. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli,
maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat
Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah
“dipribumikan”, yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel
ini menggunakan definisi penulis yang terakhir.
Filsafat Indonesia adalah
filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang
dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di
Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi
distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya. Sebagai suatu
tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat Indonesia
sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar tahun
3500–2500 SM (Mochtar Lubis, Indonesia:
Land under The Rainbow, 1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis
(di antara kajian-kajian akademis yang lain, seperti kajian “Filsafat Timur”
atau “Filsafat Barat”), Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang
berkembang pada dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar
Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudul Falsafah Indonesia (1967).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar