Rabu, 25 September 2013




Rekaman Mata Kuliah Filsafat Ilmu Oleh Prof .Dr. Marsigi
Di ruang : 300B Gedung lama, di sampaikan pada hari kamis jam 10.15-12.45 tanggal 19 September 2013 mengenai tanya jawab, di kelas P.Mat-A PPs UNY



Pertanyaan dari saudari Nisa adalah : bagaimana hubungan dunia ghaib dengan filsafat?
Defenisi ghaib
Secara bahasa, kata ghaib (غَيْبٌ) berarti ‘tertutupnya sesuatu dari pandangan mata’. Karena itu, matahari ketika terbenam atau seseorang yang tidak berada di tempat juga disebut ghaib (غَيْبٌ). Secara singkat dapat dikatakan bahwa ghaib (غَيْبٌ) adalah lawan “nyata”. Kata ghaib (غَيْبٌ) dalam bentuk mufrad (tunggal) diulang sebanyak 49 kali di dalam Al-Qur’an. Sedangkan ghaib menurut istilah adalah sesuatu yang tidak tampak oleh panca indra tapi ada dalil tertulis yang menjelaskan akan keberadaannya. Apabila ada dalil dari ayat atau hadits yang shahih akan keberadaan sesuatu yang ghaib itu lalu diingkari, maka pengingkaran itu bisa menjadikan pelakunya kafir. Karena dia telah mengingkari bagian dasar dari ajaran agama yang penting yaitu sebahagian dari rukun iman .
Bagaiamana hal yang ghaib itu ada dan hal-hal apa saja yang meliputi tentang ghaib. Untuk mengadakan hal yang ghaib itu ada adalah dengan mengadakan ghaib itu dalam diri kita sendiri, dengan kata lain, kita cukup percaya (beriman) dan mengakui secara dhohir dan batin. Hal-hal yang mencakup ghaib itu terdapat dalam enam prinsip keimanan, yaitu: percaya kepada yang ghaib, percaya kepada malaikat, percaya kepada wahyu yang diturunkan Allah, percaya kepada adanya akhirat/kiamat, percaya kepada nabi-nabi dan percaya kepada qadar atau takdir. Percaya (iman) pada adanya Allah, pada malaikat-Nya, dan pada hari kiamat merupakan tiga poin dari enam poin rukun Iman, di mana seorang muslim wajib mempercayainya. Bahwa tiga poin tersebut terkait erat dengan sesuatu yang ghaib. 

Mengimani yang ghaib merupakan salah satu ciri dari hamba yang bertakwa kepada Allah SWT. Dengan keimanan ini, tentu kita bukan sekedar menganggap ciptaan ghaib itu maujud/ada, namun diharapkan juga kita senantiasa meningkatkan kualitas pengenalan kita terhadapnya agar bisa kita gunakan sebagai sarana peningkatan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah sebagai Pencipta sekaligus Pengaturnya. Hal ini dapat kita lihat pada QS Al-Baqarah: 3 sebagai berikut:

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُوْنَ

“Mereka yang percaya kepada yang ghaib, dan mereka yang mendirikan sembahyang, dan dari apa yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka dermakan”. (ayat: 3)

Bagaimana hubungan antara filsafat dengan dunia ghaib?

Sebelum membahas hubungnanya, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan filsafat, bagaimana teknik berfilsafat dan apa manfaat dari filsafat tersebut. Filsafat yang dikembangkan penulis adalah filsafat yang memandang bahwa dunia ghaib itu adalah keyakinan atau disebut juga dengan spiritualism. Jika kita beranjak dari spiritualism. Maka sangat eratlah filsafat dengan adanya keyakinan kita dengan dunia ghaib. Filsafat spiritualism dapat kita peroleh dari pengalaman yang terjadi dalam diri kita, logika kita, beserta pengalaman dan referensinya, pengalaman atau pengalaman dari orang lain. Selain itu, filsafat spiritualism bersifat intensif (sedalam-dalamnya) dan eksentif (seluas-luasnya) dan memiliki dimensi tertinggi hanyalah milik Allah SWA.
Contohnya saja pikiran anda berbeda dengan saya, perbedaan antara pendapat saya dengan teman saya tentang “batu”. menurut pendapat saya batu itu ghaib karena dalam pikiran saya batu ini saya defenisikan dari segi pandang spiritualsm, sedangkana menurut teman saya batu itu adalah cinta. Dari setiap permasalahan yang timbul diantara kami dalam memahami batu saja terdapat pemikiran yang berbeda. Oleh karena itu fisafat itu adalah diri kita sendiri. Namun ketika kita berfilsafat tentang hal apaun maka filsafat kita itu tidak terlepas dari peran Sang Pencipta, sebab semua kekuasaan adalah diatas naungan oleh Tuhan. Contoh yang paling dekat dengan kita adalah diri kita sendiri yang sangat ghaib, kenapa tidak, salah satu unsur yang ada pada diri kita adalah “ruh” yang sampai sekarang tidak ada satu ilmuan pun bisa mengkaji ruh secara mendalam. Dari hal inilah saya berpendapat bahwa diri saya juga makhluk ghaib.
Agara lebih jelas lagi kita bisa melihat bagan berikut ini, yang menunjukkan adanya hubungan antara filsafat dengan dunia ghaib:
SPIRITUAL
FILSAFAT
NORMATIF
MATEMATATIKA
FORMAL
MATERIAL


 
                                            Bagan 1: Adab berfilsafat
Ketika pikiran atau filsafat kita sampai pada tingkatan spritual maka jelas bahwa manusia tidak bisa menjangkau oleh akalnya, hal ini wajar saja sebab Allah menganugrahkan ilmu itu kepada manusia hanya sedit saja. Hal ini tercantu pada Al-Quran Surat ayat:  . Akan tetapi banyak diantara manusia yang sombong untuk mengakui kelemahannya meski secara akalnya tidak terbukti akan filsafatnya itu. Sebab filsafatnya itu telah memasuki kawasan akan kekuasaan Allah yang secara mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWA. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa jelas terdapat hubungan antara filsafat dengan dunia ghaib. Dan secara sifat juga sama-sama memiliki hubungan yang saling mendukung antara filsafat dan dunia ghaib yang terlihat bahwa keduanya memiliki sifat yang sama untuk dikembangkan, salah satunya adalah bersifat intensif (sifat sedalam-dalamnya). 
Wallahu a’lam bish-shawabi…